PASAR RUMPUT PUNYA
CERITA.
Letaknya di Jalan Sultan Agung, kawasan Manggarai, Jakarta
Selatan. Di sisinya mengalir air banjir kanal. Orang menyebutnya kali Malang,
yang berbatasan dengan wilayah Jakarta Pusat. Pada masa tempo dulu, di trotoar sepanjang
antara terminal bus Manggarai sampai dengan markas polisi militer Guntur
ditumbuhi pohon cemara yang rimbun. Di situ pula berderet pertokoan, di
antaranya milik warga Tionghoa. Mulai dari toko emas, sepatu, pakaian,
elektronik, obat-obatan, mainan anak, baik bikinan lokal maupun impor, sampai
restaurant.
Tidak ada lagi delman |
Meski sekarang masih ada tersisa keluarga Tionghoa di
kawasan itu, namun tidak seperti dulu. Toko emas, kelontong, sepatu,
restaurant, tidak berbekas lagi. Kini di
sepanjang trotoar yang kian sempit penuh oleh pedagang sepeda, baik yang bekas
maupun sepeda yang masih baru. “Sebenarnye
dari dulu juga ude ade pedagang sepede, tapi tempatnye di pinggir kali”
cerita Ibnu Asman, warga Pasar Rumput asli. Sepeda buatan Inggris, Perancis,
Itali, yang bekas tentunya, berjajar di tempat terbuka, di sepanjang bantaran
kali Malang. ”Makenya jangan heran, pedagang sepede kulitnye pade angus kebakar
matahari” katanya lagi.
Jadi pasar sepeda |
Sama dengan cerita kandang kuda yang letaknya persis
berhadapan dengan bengkel Wak Jumali. Hanya dipisahkan oleh lapangan yang
dipakai olahraga bulutangkis, kuda-kuda di situ sama sekali tidak terusik oleh
kesibukan bengkel. Bahkan sewaktu warga mengadakan kegiatan sosial atau
turnamen bulutangkis di situ, kuda-kuda pun seakan maklum, tidak membuat ulah
yang macam-macam. Hanya saja aroma
kotoran dan kencing kuda yang menyebar
ke seantero lapangan tidak dapat dihindari. Meski kandang kuda di seputar Pasar Rumput
bukan cuma itu satu-satunya, tapi hanya tempat inilah yang menyisakan hal ihwal kawasan itu
menjadi nama kampung Kandang Kuda.
Delman yang kian minggir |
Karena kebutuhan rumput yang cukup banyak, pasokan pun
berdatangan. Daerah yang sekarang terkenal dengan segitiga emas Kuningan,
merupakan kawasan hijau dan rimbun. Rumput tumbuh dengan sangat subur. Dari sanalah
rumput-rumput diangkut dengan gerobak maupun dengan cara dipikul untuk dijual.
Sepulangnya dari hasil menjual rumput, gerobak-gerobak telah berganti isi dengan bahan pakaian atau bahan makanan
kebutuhan pokok sehari-hari. Kebutuhan
rumput yang dipasok, tidak cuma hanya untuk kuda-kuda yang sedang berisitirahat
di tempat itu saja. “Dari mane-mane,
orang yang punye kuda pade beli rumput di situ” kata Ibnu meneruskan cerita
ayahnya dulu. Mungkin dari situlah nama Pasar Rumput diambil.
Ayah Ibnu juga pemilik kuda dan delman yang terakhir
didapati di kawasan Pasar Rumput.
Seiring berkembangnya jaman dan pola hidup, kuda dan delman tidak lagi
mampu bertahan di situ. Perannya digantikan o leh bajaj, angkot, metromini,
kopaja, busway, dengan asap knalpotnya yang menyesakkan. Masih untung, kandang
kuda milik ayah Ibnu tidak terlupakan. Meski
hanya tinggal nama, namun hingga kini pemukiman disekitar itu masih
disebut sebagai daerah kandang kuda. Akan halnya pasar sepeda, kini pedagangnya
kebanyakan berasal dari daerah Kediri-Jawa Timur. Tidak ada lagi sepeda yang yang dituntun
keluar dari gang, dikendarai dua sekaligus, lalu dijajarkan di bantaran kali,
apalagi dicuci dengan air kali yang kini sudah berubah menjadi sangat keruh.
(***)
Keluarga Ho Fan Hen.
DARI YANG TERSISA
Sewaktu berusia 10tahun, Ho Fan Hen bertekad meninggalkan
kampung leluhurnya di propinsi Kanton-Cina. Saat itu kira-kira tahun 1910-an.
Ia telah menemukan tempat berteduhnya di
sekitar kawasan Pasar Rumput, agak ke
dalam membaur dengan pemukiman warga aseli. Itulah sebabnya sewaktu terjadi
proyek pelebaran jalan Pasar Rumput dan pembangunan pasar, rumah tempat
tinggalnya jauh dari bolduzer pembangunan jalan.
menguatkan akar tradisi |
Tapi ada alasan yang lebih spesifik, kenapa keluarga Ho lebih memilih dekat dengan warga setempat. Ia dapat melayani kebutuhan warga dengan membuka warung langsam. Entah istilah dari mana, pokoknya warung yang menyediakan kebutuhan pokok sehari-hari. Warga setempat menyebutnya Warung Apan. “Kopi dan cukanya sejak dulu terkenal berkualitas baik” komentar langganannya. Selain membuka warung langsam, Ho juga membuka usaha pembuatan kasur dari bahan kapuk. Dari situlah keluarga Ho dapat lebih mendekatkan diri dengan warga pribumi.
Namun keterdekatan ini, justru lebih banyak dimiliki
oleh isteri Ho, yakni Tju Tjong Nyong.
Wanita ini sering terlihat pada perhelatan-perhelatan yang diadakan
warga setempat. Bahkan menurut Handoko, salah seorang putranya, ibunya ini
paling ringan tangan dalam membantu tetangga. Ketika jaman penjajahan Jepang,
di mana kebutuhan bahan pokok sehari-hari sulit didapati, kontribusi Warung Apan tidaklah kecil. “Kalau hari raya
imlek, bagi-bagi kue atau angpao sih biasa” kata Handoko lagi.
Yang lebih tidak biasa, paling tidak menurut kebanyakan
warga keturunan, adalah mengundang warga untuk sedekahan warga pribumi atau tetangga pada waktu menjelang perayaan
tahun baru imlek. Sedekahan ini menggunakan tatacara muslim. “Untuk menjaga
hubungan baik dengan tetangga” kata Handoko mengutip alasan ibunya melakukan
acara seperti itu. Begitu pentingnya kedudukan tetangga, sehingga sebelum Ho
menutup mata pada tahun 1993, ia berpesan pada keluarganya untuk tidak mmebuat
masalah dengan tetangga. “Bila perlu mengalah untuk kebaikan” lanjut Handoko.
Dengan sikap ini, keluarga Ho Fan Hen yang dikaruniai 11 orang anak, tidak akan pernah menemui kesulitan yang berarti dalam kehidupan bersosial. Mereka telah menyatu bagaikan ikan dengan air. Apalagi kini putra-putrinya ini telah kehilangan jaringan keluarga dengan leluhurnya yang ada di Kanton sana. “Ketika terjadi apa-apa dengan diri kita, bukan famili yang jauh, tetapi tetangga yang lebih dulu peduli” pesan Tju Tjong Nyong sebelum ia wafat 6 bulan mendahului Ho. Dan para tetangga cuma bisa mengingat seorang wanita tua yang gesit mengenakan busana khas kaum Tionghoa menyambangi perhelatan atau tempat-tempat kematian di antara kerudung dan baju kurung. (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar