Bayar dulu, baru lewat |
Upaya mengatasi kepadatan lalulintas Jakarta tidak pernah
mengenal kata habis.
Lepas program 3in1 – berkendara 1 mobil 3
penumpang, menyusul busway, monorel, subway, bus air, kini ada lagi yang
namanya ERP, singkatan dari electronic
road pricing.
Gampangnya, jika melewati jalan-jalan rawan
padat seperti Jalan Thamrin, Sudirman, Gatot Subroto atau Rasuna Said Kuningan
misalnya, siap-siap sediakan dana kutipan untuk dapat lewat situ. “Kutipan
bukan tujuan, tapi lebih pada pengendalian pengaturan lalulintas, dan besarnya
pun bisa disesuaikan dengan jam-jam kepadatan” kata seorang ahli transportasi
asal Swedia.
Di
Stockholm, Swedia sana,
sistem ini sudah berjalan meski semula mendapat tantangan dari warga. Maklum,
untuk membangun cara pengendalian lalulintas model begini modalnya juga
lumayan. Tidak kurang 900 miliar sampai 1 trilyun rupiah harus disediakan
dananya. Kota lain yang sudah menggunakannya London, dan yang dekat dengan Jakarta, adalah Singapura. Menurut ahli
transportasi tadi, Singapura yang pada tahun 1970 mengalami masalah
transportasi yang luar biasa, dapat teratasi dengan cara erp ini.
“Tapi
Singapura kan bukan Jakarta”
kata seorang pengamat masalah Jakarta.
Meski sama-sama kota sibuk, disiplin warga dan aturan kepemilikan kendaraan di
sana sangat beda. Menurutnya sistem yang bukan baru ini harus dibarengi dengan perbaikan sarana dan
prasarana angkutan lainnya. “Kalau kita menerapkan ERP
tapi tidak diikuti dengan perbaikan fasilitas angkutan umum yang layak, itu namanya bukan solusi yang baik” tegasnya.
Membangun
sistem ini memang tidak semudah membalik telapak tangan. Tapi kenyataaannya, populasi
kendaraan di Jakarta
juga tidak sebanding dengan pertumbuhan jalan. Jadi kalau ada wacana seperti
ERP yang menjanjikan pengendalian lalulintas yang lebih baik, tentu harus
disikapi dengan bijak pula. Idealnya,
kalau
menggunakan sistem yang dari sono nya,
diperlukan perangkat teknis berupa kamera, laser detector, antene, dan
perlengkapan elektrik lainnya. Namanya juga electronic road pricing, jadi mesti
serba elektris. Kendaraan yang lewat otomatis terekam, apakah sudah bayar
retribusi atau belum. Cara bayarnya pun otomatis. Bisa lewat telepon, outlet-outlet
yang tersedia, atau pun tempat-tempat yang dikhususkan untuk itu. Sudah siap ?
“Kayaknya
nggak gampang” komentar Sapri (39 th),
pengguna jalan yang sering memanfaatkan jasa joki 3in1. Tapi ia mendukung, jika
gagasan ini dimaksudkan buat mengatasi keruwetan lalulintas Jakarta. Ia juga mengingatkan, sistim apapun
yang dipakai kalau tidak ada dukungan warga, akan sia-sia. “Orang kita banyak akalnya. Siapa yang menyangka
ada profesi joki, waktu program tri in
wan diberlakukan. Jangan-jangan nanti sistem erp juga diobyekin” katanya lagi. Sapri mungkin benar. Meski kasus
tewasnya joki 3in1 yang diduga korban salah tangkap sempat mencuat, atau polisi pamong
praja yang setiap saat menggelar razia, tak akan menyurutkan minat para
penyedia jasa tumpangan ini. Maklum pendapatan dari situ, juga cukup buat
menyambung hidup. Artinya, three in one tetap three in one, macet sih kagak
berkurang. Memang, kalau sudah bicara urusan perut, aturan pun siap ditabrak.(***)
MODAL ACUNGAN TANGAN
Irpan baru
berusia belasan tahun. Ia mengaku masih duduk di bangku sekolah kelas 5 SD.
Tapi jangan tanya kapan waktunya buat belajar bersama teman-teman. Hari-hari
diisi dengan berdiri di pinggir jalan Gatot Subroto di antara sederetan
orang-orang yang mengacung-acungkan tangan kepada pengendara mobil yang lewat.
Pukul 6 pagi ia sudah siap di tempatnya biasa berdiri, dan pukul 4 sore ia
ulangi lagi kegiatannya itu. Irpan memang salah seorang joki 3in1. Badannya
yang kecil, dan memilih untuk tidak
bergerombol dengan joki-joki lainnya, menjadi banyak pengendara memintanya
dalam pelayanan profesi yang tidak jelas kategorinya ini.
“Mungkin
lantaran saya anak-anak, jadi banyak yang kasihan” begitu ia menebak alasan
orang sering memakainya. Tapi mungkin belum tentu juga seperti itu. Para pengendara mobil akan merasa lebih aman jika
menggunakan anak-anak. Selain bebas dari cerita yang menakutkan, anak-anak juga
dianggap tidak mungkin atau tidak berani melakukan tindak kriminal. Cuma perlu
juga diwaspadai cerita seorang ibu berikut ini.
Bu Evi (37
tahun) sekali waktu kepepet menggunakan
jasa joki 3in1. Pilihannya yang aman tentu anak-anak seusia Irpan. Baru
beberapa meter memasuki kawasan 3in1, si joki menanyakan berapa ia ingin
diberi. Ternyata nilainya jauh diluar dugaan bu Evi. Tawar-menawarpun tidak
berlaku, lantaran si joki merasa di atas angin. Ia bertahan pada permintaannya,
atau minta diturunkan di kawasan 3in1. Bu Evi memilih si joki turun. “Bukan
soal uangnya, tapi caranya itu lho”
kenangnya. Untunglah ia tidak diperiksa polisi sampai ke luar kawasan 3in1.
“Tuhan juga maha adil koq. Masa cuma
modal acungan tangan saja mau dapat besar” kata pengusaha catering di daerah
Pejompongan itu. (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar