kontak :

Foto saya
Mengamati kebudayaan peninggalan Jakarta tempo dulu untuk pelestarian yang berkesinambungan

Rabu, Desember 04, 2013

ERP : BAYAR DULU, BARU LEWAT



Bayar dulu, baru lewat

Upaya mengatasi kepadatan lalulintas Jakarta tidak pernah mengenal kata habis.
Lepas program 3in1 – berkendara 1 mobil 3 penumpang, menyusul busway, monorel, subway, bus air, kini ada lagi yang namanya ERP, singkatan dari electronic road pricing.
Gampangnya, jika melewati jalan-jalan rawan padat seperti Jalan Thamrin, Sudirman, Gatot Subroto atau Rasuna Said Kuningan misalnya, siap-siap sediakan dana kutipan untuk dapat lewat situ. “Kutipan bukan tujuan, tapi lebih pada pengendalian pengaturan lalulintas, dan besarnya pun bisa disesuaikan dengan jam-jam kepadatan” kata seorang ahli transportasi asal Swedia.

            Di Stockholm, Swedia sana, sistem ini sudah berjalan meski semula mendapat tantangan dari warga. Maklum, untuk membangun cara pengendalian lalulintas model begini modalnya juga lumayan. Tidak kurang 900 miliar sampai 1 trilyun rupiah harus disediakan dananya. Kota lain yang sudah menggunakannya London, dan yang dekat dengan Jakarta, adalah Singapura. Menurut ahli transportasi tadi, Singapura yang pada tahun 1970 mengalami masalah transportasi yang luar biasa, dapat teratasi dengan cara erp ini.
            “Tapi Singapura kan bukan Jakarta” kata seorang pengamat masalah Jakarta. Meski sama-sama kota sibuk, disiplin warga dan aturan kepemilikan kendaraan di sana sangat beda. Menurutnya sistem yang bukan baru ini harus dibarengi dengan perbaikan sarana dan prasarana angkutan lainnya. “Kalau kita menerapkan ERP tapi tidak diikuti dengan perbaikan fasilitas angkutan umum yang layak,  itu namanya bukan solusi yang baik” tegasnya.
            Membangun sistem ini memang tidak semudah membalik telapak tangan. Tapi kenyataaannya, populasi kendaraan di Jakarta juga tidak sebanding dengan pertumbuhan jalan. Jadi kalau ada wacana seperti ERP yang menjanjikan pengendalian lalulintas yang lebih baik, tentu harus disikapi dengan bijak pula. Idealnya,  kalau menggunakan sistem yang dari sono nya, diperlukan perangkat teknis berupa kamera, laser detector, antene, dan perlengkapan elektrik lainnya. Namanya juga electronic road pricing, jadi mesti serba elektris. Kendaraan yang lewat otomatis terekam, apakah sudah bayar retribusi atau belum. Cara bayarnya pun otomatis. Bisa lewat telepon, outlet-outlet yang tersedia, atau pun tempat-tempat yang dikhususkan untuk itu. Sudah siap ?
            “Kayaknya nggak  gampang” komentar Sapri (39 th), pengguna jalan yang sering memanfaatkan jasa joki 3in1. Tapi ia mendukung, jika gagasan ini dimaksudkan buat mengatasi keruwetan lalulintas Jakarta. Ia juga mengingatkan, sistim apapun yang dipakai kalau tidak ada dukungan warga, akan sia-sia.  “Orang kita banyak akalnya. Siapa yang menyangka ada profesi joki, waktu program tri in wan diberlakukan. Jangan-jangan nanti sistem erp juga diobyekin” katanya lagi. Sapri mungkin benar. Meski kasus tewasnya joki 3in1 yang diduga korban salah tangkap sempat mencuat, atau polisi pamong praja yang setiap saat menggelar razia, tak akan menyurutkan minat para penyedia jasa tumpangan ini. Maklum pendapatan dari situ, juga cukup buat menyambung hidup. Artinya, three in one tetap three in one, macet sih kagak berkurang. Memang, kalau sudah bicara urusan perut, aturan pun siap ditabrak.(***)




MODAL ACUNGAN TANGAN

Irpan baru berusia belasan tahun. Ia mengaku masih duduk di bangku sekolah kelas 5 SD. Tapi jangan tanya kapan waktunya buat belajar bersama teman-teman. Hari-hari diisi dengan berdiri di pinggir jalan Gatot Subroto di antara sederetan orang-orang yang mengacung-acungkan tangan kepada pengendara mobil yang lewat. Pukul 6 pagi ia sudah siap di tempatnya biasa berdiri, dan pukul 4 sore ia ulangi lagi kegiatannya itu. Irpan memang salah seorang joki 3in1. Badannya yang kecil, dan  memilih untuk tidak bergerombol dengan joki-joki lainnya, menjadi banyak pengendara memintanya dalam pelayanan profesi yang tidak jelas kategorinya ini.
“Mungkin lantaran saya anak-anak, jadi banyak yang kasihan” begitu ia menebak alasan orang sering memakainya. Tapi mungkin belum tentu juga seperti itu. Para pengendara mobil akan merasa lebih aman jika menggunakan anak-anak. Selain bebas dari cerita yang menakutkan, anak-anak juga dianggap tidak mungkin atau tidak berani melakukan tindak kriminal. Cuma perlu juga diwaspadai cerita seorang ibu berikut ini.
Bu Evi (37 tahun) sekali waktu kepepet menggunakan jasa joki 3in1. Pilihannya yang aman tentu anak-anak seusia Irpan. Baru beberapa meter memasuki kawasan 3in1, si joki menanyakan berapa ia ingin diberi. Ternyata nilainya jauh diluar dugaan bu Evi. Tawar-menawarpun tidak berlaku, lantaran si joki merasa di atas angin. Ia bertahan pada permintaannya, atau minta diturunkan di kawasan 3in1. Bu Evi memilih si joki turun. “Bukan soal uangnya, tapi caranya itu lho” kenangnya. Untunglah ia tidak diperiksa polisi sampai ke luar kawasan 3in1. “Tuhan juga maha adil koq. Masa cuma modal acungan tangan saja mau dapat besar” kata pengusaha catering di daerah Pejompongan itu. (***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar