kontak :

Foto saya
Mengamati kebudayaan peninggalan Jakarta tempo dulu untuk pelestarian yang berkesinambungan

Sabtu, Agustus 01, 2015

LAHAN MENYEMPIT KUBURAN PUN SULIT



Hidup tak mudah, mati pun susah. Buat warga Jakarta, kalimat ini bukan sekedar ungkapan. Memperoleh "rumah masa depan" type 21 atau 2x1 ternyata tidak segampang membaca aturan yang terpampang di kelurahan atau di kantor-kantor pemakaman umum. Untuk mendapat lahan makam agaknya peran penggali kubur sangat turut menentukan. Petugas pemakaman umum yang seharusnya sebagai pelayan masyarakat seakan membiarkan dan memaklumi hal ini.
            Anggota keluarga yang akan memakamkan, akan melakukan negosiasi dengan para penggali kubur lewat panduan petugas setingkat pengawas atau mandor. Kira-kira begitulah. Tinggal pilih maunya tempat di sebelah mana. Masing-masing zona sudah ada tukang galinya masing-masing. "Terserah maunya di mana, yang letaknya strategis pasti harganya juga tinggi" kata mantan penggali kubur yang tak mau disebut namanya.
            Mantan penggali tadi menyebut perlu jutaan rupiah untuk wilayah strategis, dekat jalan raya. "Yang murah juga ada, tuh di sana" seraya menunjuk tempat yang paling sulit telihat karena letaknya di pojok. Itupun harganya masih di atas harga yang terpampang sebagai harga resmi. "Habis gimana, kita kan harus setor" tuturnya lagi. Sistim setoran ini pula agaknya yang menjadikan warga yang terkena musibah kematian bagaikan sudah jatuh tertimpa tangga.
            Buat sebagian warga yang mampu, harga bukan masalah. Apalagi masing-masing merasa butuh. Bahkan bagi yang ingin lebih eksklusif kini tersedia kompleks pemakaman yang tidak jauh dari kota Jakarta yakni di Karawang. Di kompleks itu, yang bernama San Diego Hills,  dilengkapi hotel, pusat hiburan, kolam renang dan pusat perbelanjaan. Untuk dapat "rumah masa depan" di situ, tidak perlu harus negosiasi dengan penggali kubur. Cukup sediakan uang 40juta-an, akan dapat sertifikat dan bebas dari ancaman penggusuran.
           

Ancaman penggusuran makam, menjadi masalah lain para ahli waris kubur di Jakarta. Pemakaman Menteng Pulo misalnya. Areal ini sudah banyak terpakai untuk pembangunan jalan dan kepentingan bisnis center atau apartemen. "Dulu jalan yang kita lewati ini kuburan" kata warga Menteng Dalam menceritakan jalan Casablanca yang persis membelah wilayah pemakaman. Begitu juga kompleks pemakaman Blok P Kebayoran Baru. Sebagiannya kini telah menjadi gedung pusat pemerintahan kota wilayah selatan."Jadi kalau mau aman, ya di kampung" kata Saro'i warga Pemalang, Jawa Tengah. Ia termasuk salah satu dari sejumlah ahli waris kubur yang tergusur jalan Casablanca.
            "Lagi pula kuburan di sini kan mesti kontrak" kata Saro'i kemudian. "Lewat masanya, kalau tidak diperpanjang, jangan harap makam keluarga kita masih bisa diziarahi" jelasnya. Sebagai orang timur, budaya ziarah untuk menghormati kerabat yang telah meninggal dunia, tidak dapat hapus begitu saja. Maka fungsi makam menjadi penting dalam kehidupan masyarakat. Repotnya, lahan Jakarta kian mahal dan  menyempit lantaran populasi penduduk yang setiap tahun membengkak.
            Kalaupun ada warga yang memiliki tanah lebih untuk membuat kuburan wakaf misalnya, urusannya juga tidak mudah. Selain jaraknya yang harus lebih 500 meter dari pemukiman, faktor resapan air juga menjadi perhatian. Dikhawatirkan proses pembusukan jenazah tidak sempurna, sehingga dapat menimbulkan kuman yang mencemari lingkungan. Ataukah ada alternatif lain? Mengecilkan ukuran kuburan misalnya?
            KH.Kosasih, salah seorang ustadz yang mengajar di beberapa pengajian dengan tegas menolak kuburan di luar syariat Islam. "Tidak ada cara alternatif. Paling-paling diceburkan ke laut" tegasnya. Masalahnya siapa yang ingin bersusah-susah mengusung jenazah ke tengah laut ?. Jadi lahan kuburan masih tetap dibutuhkan, meski kian hari semakin menyempit. Untung saja masih boleh sistem tumpang susun. Kalau tidak?, Masak iya jenazah dikubur berdiri? (***)

1 komentar: