BERMULA
DARI COBA-COBA
Wajahnya
nampak lusuh, sama seperti pakaiannya yang nyaris compang-camping.
Sandal karetnyapun hanya sekedar saja untuk menahan terik matahari
yang membakar kulit telapak kaki hingga sekujur tubuhnya. Dengan
sedikit mengiba, ia menjulurkan tangannya ke jendela kaca mobil yang
mengantri di lampu merah kawasan Menteng Jakarta Pusat. Suparno
(46th) memang tidak sendiri. Di ruas jalan lainnya, beberapa pengemis
seperti dirinya setiap hari berharap belas kasihan dari pengendara
ataupun pejalan kaki yang melintas di situ.
Salah
satunya sebut saja Marsan. "Tadinya saya tidak berniat seperti
ini" cerita Marsan mengawali kisahnya terdampar di Jakarta . Ia
berangkat dari kampung halamannya di daerah Jawa Tengah bersama
seorang temannya bernama Budi. Beberapa saat ia sempat bekerja
sebagai kuli bangunan. Entah bagaimana temannya tadi menghilang,
meninggalkan dia seorang diri. Bersamaan dengan itu, pekerjaan
sebagai kuli bangunan kian sulit didapat. "Dalam keadaan lapar,
saya coba-coba iseng menadahkan tangan, ternyata banyak yang memberi"
katanya.
Kini
ia memasuki tahun ke lima dalam menjalankan kehidupannya sebagai
peminta-minta di pinggir jalan. Daerah operasinya pun
berpindah-pindah. "Tapi saya tidak berkomplot, jadi saya suka
diusir oleh mereka yang punya bos" lanjut Marsan. Ia pun
menceritakan adanya semacam pembagian wilayah operasi yang diatur
oleh koordinator. "Kalau mereka enak, tidurnya dikasih tempat,
tidak seperti saya di emper pasar" katanya.
Tidak
ingin pulang kampung ?. Setelah menerawang sesaat, ia menggelengkan
kepala. "Lha wong saya sudah terlanjur betah begini, lagian di
kampung saya sudah tidak punya siapa-siapa" katanya. Sulit
dibuktikan kebenaran pengakuannya. Kebanyakan orang-orang seperti
mereka memiliki alasan serupa agar tidak dipulangkan ke daerah
asalnya.
Alasan
klasik lainnya, adalah himpitan ekonomi. Meski tidak sedikit dari
mereka dtengarai memiliki sawah dan rumah yang layak untuk ukuran
desanya. Kalau ini yang terjadi, masalahnya tentu berbeda. Faktor
mental banyak berpengaruh, sehingga mereka siap dikejar-kejar dan
dirazia petugas.
Kepada
pengendara pun sebenarnya tidak kurang imbauan untuk menolak tadahan
tangan mereka. "Bukannya melarang bersedekah, tapi kalau bisa
tidak di jalan umum seperti ini" kata seorang polisi pamong
praja. Tindakan pelarangani ini juga dimaksudkan untuk mengatasi
rawan kejahatan yang sering menimpa pengendara.
Banyaknya
kasus-kasus kejahatan di jalan raya, menjadikan pengendara harus
menutup dan mengunci rapat-rapat jendela mobilnya. Hal ini menurut
Marsan sangat mempengaruhi pendapatannya. Ia mengaku lebih suka
beroperasi di halte-halte atau pintu-pintu pasar. "Pendapatan
jadi berkurang, orang takut membuka kaca mobilnya ". katanya.
Meski begitu, ia merasa cukup dengan mengantongi rata-rata 200 ribu
rupiah setiap harinya. Apalagi ia tidak perlu setor ke koordinator
untuk sewa rumah ataupun pembagian wilayah operasi. Cuma ia harus
menanggung resiko sendiri jika sewaktu-waktu ditangkap petugas dan
dijebloskan ke panti pembinaan sosial. "Ya tidak apa-apa"
katanya pasrah.
Lha wong tadinya coba-coba kok. (***)
AIR SUSU DIBALAS AIR TUBA
Mestinya niat mulia akan berbuah
kebaikan. Tapi coba simak pengalaman Suzan berikut ini. Ia bukan baru
kali itu menyetir mobilnya sendiri. Jalan-jalan Jakarta pun sudah
dikuasainya. Tapi naas tidak pernah memberi tanda-tanda sebelumnya.
Ia menjadi salah satu korban kerasnya kehidupan ibukota.
Senja baru saja beranjak ketika ia
meninggalkan kantornya di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan. Sewaktu
tiba di perempatan jalan Asia Afrika Senayan dalam perjalanannya
pulang, pandangannya tertumpu pada seorang perempuan kurus melintas
di sela-sela kemacetan lalu lintas. Naluri kewanitaannya segera
menyergap. Apalagi dalam pelukan perempuan kurus tadi seorang bocah
kecil terkulai dan sama lusuhnya.
"Aku tidak punya pikiran apa-apa selain ingin memberi sedekah pada perempuan tadi" ceritanya. Maka begitu lampu merah menghentkan laju kendaraannya, ia segera membuka kaca jendela. Tapi entah dari mana datangnya, tiba-tiba ada tangan kasar mencakar lehernya dari belakang. Kejadian itu berlangsung hanya dalam hitungan detik. Suzan terkesima. Ia buru-buru menutup kembali jendela kacanya. Berbarengan dengan lampu hijau, ia tancap gas. Wajah perempuan pengemis tadi, terhapus begitu saja.
"Untung do''i ku bisa ngerti" katanya lagi. Lho?. Rupanya kalung bermata berlian yang disabet si tangan kasar tadi merupakan hadiah khusus tunangannya."Bukan harganya, tapi nilainya itu. Nggak terbeli" katanya dengan nada kecewa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar