kontak :

Foto saya
Mengamati kebudayaan peninggalan Jakarta tempo dulu untuk pelestarian yang berkesinambungan

Kamis, Oktober 01, 2015

PENGEMIS, SATU LAGI MASALAH JAKARTA

BERMULA DARI COBA-COBA
         Wajahnya nampak lusuh, sama seperti pakaiannya yang nyaris compang-camping. Sandal karetnyapun hanya sekedar saja untuk menahan terik matahari yang membakar kulit telapak kaki hingga sekujur tubuhnya. Dengan sedikit mengiba, ia menjulurkan tangannya ke jendela kaca mobil yang mengantri di lampu merah kawasan Menteng Jakarta Pusat. Suparno (46th) memang tidak sendiri. Di ruas jalan lainnya, beberapa pengemis seperti dirinya setiap hari berharap belas kasihan dari pengendara ataupun pejalan kaki yang melintas di situ.


       Salah satunya sebut saja Marsan. "Tadinya saya tidak berniat seperti ini" cerita Marsan mengawali kisahnya terdampar di Jakarta . Ia berangkat dari kampung halamannya di daerah Jawa Tengah bersama seorang temannya bernama Budi. Beberapa saat ia sempat bekerja sebagai kuli bangunan. Entah bagaimana temannya tadi menghilang, meninggalkan dia seorang diri. Bersamaan dengan itu, pekerjaan sebagai kuli bangunan kian sulit didapat. "Dalam keadaan lapar, saya coba-coba iseng menadahkan tangan, ternyata banyak yang memberi" katanya.
       
       Kini ia memasuki tahun ke lima dalam menjalankan kehidupannya sebagai peminta-minta di pinggir jalan. Daerah operasinya pun berpindah-pindah. "Tapi saya tidak berkomplot, jadi saya suka diusir oleh mereka yang punya bos" lanjut Marsan. Ia pun menceritakan adanya semacam pembagian wilayah operasi yang diatur oleh koordinator. "Kalau mereka enak, tidurnya dikasih tempat, tidak seperti saya di emper pasar" katanya.
Tidak ingin pulang kampung ?. Setelah menerawang sesaat, ia menggelengkan kepala. "Lha wong saya sudah terlanjur betah begini, lagian di kampung saya sudah tidak punya siapa-siapa" katanya. Sulit dibuktikan kebenaran pengakuannya. Kebanyakan orang-orang seperti mereka memiliki alasan serupa agar tidak dipulangkan ke daerah asalnya.

       Alasan klasik lainnya, adalah himpitan ekonomi. Meski tidak sedikit dari mereka dtengarai memiliki sawah dan rumah yang layak untuk ukuran desanya. Kalau ini yang terjadi, masalahnya tentu berbeda. Faktor mental banyak berpengaruh, sehingga mereka siap dikejar-kejar dan dirazia petugas.

       Kepada pengendara pun sebenarnya tidak kurang imbauan untuk menolak tadahan tangan mereka. "Bukannya melarang bersedekah, tapi kalau bisa tidak di jalan umum seperti ini" kata seorang polisi pamong praja. Tindakan pelarangani ini juga dimaksudkan untuk mengatasi rawan kejahatan yang sering menimpa pengendara.

       Banyaknya kasus-kasus kejahatan di jalan raya, menjadikan pengendara harus menutup dan mengunci rapat-rapat jendela mobilnya. Hal ini menurut Marsan sangat mempengaruhi pendapatannya. Ia mengaku lebih suka beroperasi di halte-halte atau pintu-pintu pasar. "Pendapatan jadi berkurang, orang takut membuka kaca mobilnya ". katanya. 

       Meski begitu, ia merasa cukup dengan mengantongi rata-rata 200 ribu rupiah setiap harinya. Apalagi ia tidak perlu setor ke koordinator untuk sewa rumah ataupun pembagian wilayah operasi. Cuma ia harus menanggung resiko sendiri jika sewaktu-waktu ditangkap petugas dan dijebloskan ke panti pembinaan sosial. "Ya tidak apa-apa" katanya pasrah. Lha wong tadinya coba-coba kok. (***)



AIR SUSU DIBALAS AIR TUBA
       Mestinya niat mulia akan berbuah kebaikan. Tapi coba simak pengalaman Suzan berikut ini. Ia bukan baru kali itu menyetir mobilnya sendiri. Jalan-jalan Jakarta pun sudah dikuasainya. Tapi naas tidak pernah memberi tanda-tanda sebelumnya. Ia menjadi salah satu korban kerasnya kehidupan ibukota.

       Senja baru saja beranjak ketika ia meninggalkan kantornya di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan. Sewaktu tiba di perempatan jalan Asia Afrika Senayan dalam perjalanannya pulang, pandangannya tertumpu pada seorang perempuan kurus melintas di sela-sela kemacetan lalu lintas. Naluri kewanitaannya segera menyergap. Apalagi dalam pelukan perempuan kurus tadi seorang bocah kecil terkulai dan sama lusuhnya.

       "Aku tidak punya pikiran apa-apa selain ingin memberi sedekah pada perempuan tadi" ceritanya. Maka begitu lampu merah menghentkan laju kendaraannya, ia segera membuka kaca jendela. Tapi entah dari mana datangnya, tiba-tiba ada tangan kasar mencakar lehernya dari belakang. Kejadian itu berlangsung hanya dalam hitungan detik. Suzan terkesima. Ia buru-buru menutup kembali jendela kacanya. Berbarengan dengan lampu hijau, ia tancap gas. Wajah perempuan pengemis tadi, terhapus begitu saja.

       "Untung do''i ku bisa ngerti" katanya lagi. Lho?. Rupanya kalung bermata berlian yang disabet si tangan kasar tadi merupakan hadiah khusus tunangannya."Bukan harganya, tapi nilainya itu. Nggak terbeli" katanya dengan nada kecewa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar