kontak :

Foto saya
Mengamati kebudayaan peninggalan Jakarta tempo dulu untuk pelestarian yang berkesinambungan

Selasa, September 29, 2015

MEMINDAHKAN KOTA JAKARTA DARI GENANGAN AIR (??)

          Menyoal banjir di Jakarta tak ubahnya bagaikan mengurai benang kusut. Bermacam cara dilakukan. Mulai dari normalisasi sungai, pembuatan sodetan, wacana pembangunan waduk di hulu, penataan lingkungan pinggir sungai, hingga membangun kesadaran warga 
dari yang persuasif hingga ancaman. Masalah pun timbul tidak kalah ruwetnya. Akumulasi masalah yang terendap meledak saat pemukiman Kampung Pulo di pindah secara paksa. Bentrok dengan petugas tak terelakan hingga menimbul-kan korban luka-luka di pihak warga maupun petugas. Alat berat pun dibakar, beberapa warga dijadikan tersangka kerusuhan.
         Padahal fenomena banjir ini sudah ber-ulang terjadi. Ada yang namanya banjir tahunan, ada pula yang berbentuk siklus lima tahunan. Artinya, warga sudah faham bahwa Jakarta ini sesungguhnya adalah kota air.Tiga belas sungai yang mengiris-iris tanah Jakarta, sudah cukup memberi sinyal kalau kota ini tidak mungkin dapat terbebas dari genangan air. Jangan heran sejak dulu pemerintah kolonial Belanda membangun kanal dan pintu air di sisi-sisi kota. Padahal pada masa itu, kepadatan penduduk baru dalam hitungan ratusan ribu saja, bahkan mungkin kurang. Bandingkan dengan kondisi sekarang yang telah menci apai angka lebih dari 9 juta jiwa.

Dalam keadaan populasi penduduk meningkat sangat tajam dari tahun ke tahun, akibatnya lahan semakin sempit. Ruang-ruang yang dahulu merupakan endapan air, dijadian pemukiman. Sebut saja nama-nama yang masih meninggalkan bekas seperti Rawamangun, Rawasari, Rawabuaya, Tebet, Rawakepa, Kampung Rawa, Rawajati, dan masih banyak lagi. Saluran airpun kian terhambat. Ruang-ruang resapan tidak lagi tersisa. “Jadi perlu tindakan semacam crash program” kata HM.Ashraf Ali, aktivis dari Partai Golkar dalam diskusi terbatas dengan sebuah yayasan pengamat kota Jakarta.
Maksudnya ?. Kalau bencana berulang terjadi di desa, orang rela meninggalkan desa beramai-ramai. Istilahnya “bedol desa”. Nah, kalau analogi ini dilakukan di kota Jakarta yang telah berulang-ulang mengalami bencana banjir ?. Tentu juga tidak mudah. Apalagi gambaran Jakarta kota impian dengan berjuta kemudahan telah menjadi daya magnet yang luar biasa bagi para kaum urban. Namun untuk menata ulang tata ruang, juga bukan pekerjaan yang mudah. “Mungkin kita perlu mengurangi tempat-tempat kegiatan pemerintahan di dalam kota” kata Ashraf Ali melanjutkan dalam diskusi itu.
Jakarta, kebetulan sebagai pusat pemerintahan negara. Masalah yang tumpang tindih juga sering terjadi, sehingga sering terdapat ketidakjelasan mana wewenang pemerintah pusat, dan manapula wewenang pemerintah kota. “Setidaknya, kalau kegiatan pemerintahan dilokalisir di suatu tempat, yang boleh saja berdekatan dengan Jakarta, kemungkinan dapat menghemat penggunaan lahan” sambung seorang peserta diskusi.
Bukan cuma itu. Kepadatan transportasi juga pasti tidak menumpuk di jalan-jalan yang menuju gedung-gedung pemerintahan. Pegawai negara tentunya akan memilih tempat tinggalnya di sekitar lokasi pemerintahan yang baru. Kalau sudah begitu, biasanya akan diikuti oleh penunjang lain yang mampu menyedot perhatian orang untuk tidak berdesak-desakan di kota. ‘Tapi dalam penataan sebuah kawasan baru yang dibangun dari nol, harus benar-benar sesuai perencanaan, sehingga tidak perlu terjadi pemindahan masalah dari satu tempat ke tempat lain” kata peserta diskusi lainnya.
Konsep pengembangan kota semacam ini sebenarnya juga bukan hal yang baru. Kawasan penyangga di sekitar Jakarta telah lama tumbuh. Kota satelit Serpong, Tanggerang, Depok, Bekasi sebenarnya diharapkan dapat mengatasi persoalan kota Jakarta. Namun lagi-lagi persoalan timbul lantaran kewenangan dan koordinasi yang tidak sinkron. Rancangan megapolitan, sesungguhnya untuk mengatasi hambatan kewenangan dan koordinasi tadi. Tapi karena menyangkut kebijakan pemerintah daerah lain, maka penafsirannya tentu berdasarkan kepentingan wilayah masing-masing.
Masih banyak kendala jika hendak diurai, sementara persoalan kian hari kian tak terbendung bagaikan banjir bandang. Intinya, cepat atau lambat, Jakarta semakin padat. Air tidak mungkin diusir dari daratan Jakarta yang letaknya lebih rendah, bahkan dari permukaan laut. “Oleh karenanya wacana memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta perlu mendapat perhatian” kata Asraf Ali.
Seperti yang dilakukan negara jiran Malaysia. Kuala Lumpur kini tidak lagi dipadati kesibukan pemerintahan. Kota itu disiapkan hanya sebagai kota dagang, sementara satu kawasan baru dibangun dengan fasilitas umum yang serba praktis dan modern untuk aktivitas pengendalian negara. Letaknya hanya 25 kilometer dari Kuala Lumpur, dengan luas 46 km2 kawasan pengendali pemerintahan itu disebut Putrajaya.

Suatu hal yang boleh dijadikan contoh adalah di balik motivasi pembangunan Putrajaya itu. Ternyata tidak hanya sekedar memecahkan masalah kepadatan kota Kuala Lumpur. Putra-putra aseli Malaysia ingin memberikan hasil karya besar buat bangsanya. Modal pembangunan seluruhnya dari perusahaan-perusahaan negara. Dikerjakan oleh tenaga-tenaga ahli dalam negeri. Dan pemberian nama Putrajaya pun untuk menghormati dan mengabadikan bapak bangsa Tunku Abdurahman Putra. Jakarta memang tidak perlu meniru, tapi mencari jalan keluar yang serupa itu, adalah perlu.(***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar