kontak :

Foto saya
Mengamati kebudayaan peninggalan Jakarta tempo dulu untuk pelestarian yang berkesinambungan

Sabtu, Agustus 01, 2015

STADION MENTENG RIWAYATMU DULU


Di tengah gonjang-ganjingnya persepakbolaan tanah air, mengenang sebuah tempat di kawasan Menteng, seperti menggali rasa bangga, prihatin, pilu, bercampur menjadi satu. Di situ pernah ada stadion kebanggaan milik Persija Jakarta yang kini berubah rupa menjadi taman kota.
Wajah baru bekas stadion Menteng
      Sederet nama besar pesepakbola nasional lahir dari stadion yang bersejarah itu.  Orang-orang tua tempo dulu mengenal dan menyebutnya dengan sebutan “lapangan vios”.  Tempat itu memang dibangun oleh klub sepakbola Belanda yang bernama Voetbalbond Indische Omstreken Sport atau disingkat VIOS, pada tahun 1920. Kegilaan pada olahraga sepak menyepak si kulit bundar ini juga terlihat dari klub Nederlandsch Indiche Voetbal Bond (NIVB) yang  mereka dirikan. Dan sejarah mencatat kontingen Hindia Belanda mampu berlaga di kejuaraan sepakbola dunia pada tahun 1938 di Perancis.
       Namun bukan berarti pemain pribumi tidak mampu bersaing dalam prestasi. Nama-nama seperti Abidin, Sumo, Mat Dongker dan Tan Hwa Kiat ternyata dapat disejajarkan dengan nama besar pemain Hindia Belanda yakni Van de Poel, Denkelaar, dan kiper tangguhnya,  Backhuys. Klub-klub lokal pun bermunculan dengan didukung sarana lapangan yang betebaran di mana-mana. Voetbalbond Indonesia Jakarta atau VIJ yang pada tahun 1950 bernama Persija memiliki lapangan VIJ Petojo. Klub UMS di Petak Sinkiang Tamansari,.
     

Dari yang wangi sampai yang judi
       Stadion Menteng digunakan untuk kompetisi klub-klub lokal tadi. Jakarta di era 60-an memiliki banyak klub sepakbola yang bahkan berasal dari militer dan kepolisian. Seperti klub PSAD milik Angkatan Darat, POP dari kepolisian, klub Angkasa dari Angkatan Udara, dan yang bernuansa kedaerahan seperti klub Maluku. Klub-klub itu berbaur dengan klub yang sudah ada seperti UMS, Maesa, Hercules, Jakarta Putra, Indonesia Muda, Setia, dan sederet nama klub lain yang menyemarakkan persepakbolaan ibukota.
      Nama-nama klub itu tidak akan pernah asing di telinga, lantaran secara teratur mereka berlaga di stadion Menteng dalam kompetisi yang terjadwal rapi. Nama-nama besar seperti Yudo Hadiyanto, Iswadi Idris, Oyong Liza, Salmon Nasution, Sutjipto Suntoro, yang pernah membela panji persepakbolaan nasional, selalu dinanti aksi lapangannya di situ. Letak stadion yang berada di jantung kota dan mudah diakses dari berbagai arah, menjadikan lapangan ini selalu dipenuhi penonton.
Masa jaya penuh kenangan
     Latarbelakang penontonpun  beragam. Dari yang yang benar-benar gila bola, sekedar hiburan, dan yang satu ini, penggemar sekaligus petaruh hasil pertandingan. Mereka biasanya berkumpul menempati di sisi kanan tribun barat.  Dari seringnya kehadiran para petaruh itu, wajah-wajahnya sangat mudah dikenali. Bahkan menyaksikan mereka menonton, kadang lebih seru dari pertandingan itu sendiri. Sayangnya ulah para petaruh ini terlalu jauh mencampuri pertandingan. Sehingga tidak mustahil demi kemenangan taruhan, hasil pertandingan dapat diatur, dan permainan menjadi tidak sportif lagi.
     Sudah bukan rahasia lagi, pada waktu itu banyak pemain handal tidak tahan godaan dan terkontaminasi permainan para bandar taruhan. Sepakbola memang bukan tujuan mencari penghasilan, tapi jika uang datang apa salahnya diterima. Sangat jauh berbeda dengan pesepakbola masa kini yang dapat hidup, membeli rumah, kendaraan dan menabung dari hasil keringat mengolah bola di lapangan. “Bisa dipanggil bermain membela Persija saja, bangganya bukan main” kata Endang Zakaria, mantan penjaga gawang klub Maesa di 
akhir tahun 60-an.
     Memasuki tahun 70-an, persepakbolaan Jakarta kian marak. Stadion Menteng tidak saja semakin meriah, tapi juga semakin harum. Pasalnya, banyak pihak yang memiliki banyak uang mulai menaruh perhatian. Menyusul keberhasilan pengusaha Pardede, yang mendirikan klub sepakbola professional Pardedetex di Medan, di Jakarta, salah satu klub yang mencuat waktu itu adalah Jayakarta. “Kalau Jayakarta yang maen, stadion Menteng jadi wangi” begitu komentar pencandu bola mengenang. Gadis-gadis cantik dengan parfum yang tidak murah memenuhi kursi-kursi di tribun kelas satu.
      Sederet nama di barisan pemain Jayakarta seperti Andi Lala, dan Anjas Asmara memang sangat mampu menarik perhatian. Tidak cuma kemahirannya mengolah bola,  tapi mereka juga modis, trendy dan keren. Bahkan di kemudian hari, Anjas Asmara dipercaya produser untuk membintangi film layar lebar, dan ia telah membuktikan pemain sepakbola ternyata dapat menjadi seorang selebritis.
     

2 komentar:

  1. Betawi Selalu Punye Gaye...Salam Anak Jakarte,Boim n Panjul

    BalasHapus
  2. inget waktu kecil,,,,lihat bintang persija pd main,,,terutama komarudin betay,,,sibelut listrik

    BalasHapus