Menyoal banjir di Jakarta tak ubahnya
bagaikan mengurai benang kusut. Bermacam cara dilakukan. Mulai dari
normalisasi sungai, pembuatan sodetan, wacana pembangunan waduk di
hulu, penataan lingkungan pinggir sungai, hingga membangun kesadaran
warga
dari yang persuasif hingga ancaman. Masalah pun timbul tidak
kalah ruwetnya. Akumulasi masalah yang terendap meledak saat
pemukiman Kampung Pulo di pindah secara paksa. Bentrok dengan petugas
tak terelakan hingga menimbul-kan korban luka-luka di pihak warga
maupun petugas. Alat berat pun dibakar, beberapa warga dijadikan
tersangka kerusuhan.
Padahal fenomena banjir ini sudah
ber-ulang terjadi. Ada yang namanya banjir tahunan, ada pula yang
berbentuk siklus lima tahunan. Artinya, warga sudah faham bahwa
Jakarta ini sesungguhnya adalah kota air.Tiga belas sungai yang
mengiris-iris tanah Jakarta, sudah cukup memberi sinyal kalau kota
ini tidak mungkin dapat terbebas dari genangan air. Jangan heran
sejak dulu pemerintah kolonial Belanda membangun kanal dan pintu air
di sisi-sisi kota. Padahal pada masa itu, kepadatan penduduk baru
dalam hitungan ratusan ribu saja, bahkan mungkin kurang. Bandingkan
dengan kondisi sekarang yang telah menci apai angka lebih dari 9 juta
jiwa.