kontak :

Foto saya
Mengamati kebudayaan peninggalan Jakarta tempo dulu untuk pelestarian yang berkesinambungan

Jumat, September 25, 2015

OJEK SEPEDA DI ANTARA OJEK BERBASIS APLIKASI

Maraknya gebyar ojek sepeda motor berbasis aplikasi, kian menambah terpuruknya ojek sepeda khususnya di wilayah Jakarta Kota. Namun menariknya, moda transportasi ini sempat menjadi primadona pada masanya. Di balik kegiatannya, terbesit semangat pejuangan menaklukan kerasnya kehidupan kota Jakarta. Hanya berbekal kemauan tinggi denga pendidikan yang serba pas-pasan, mereka memang bukan tempatnya untuk bersaing di kota yang katanya sedang berubah menjadi smart city.

Entah bagaimana mulanya, tahu-tahu ojek sepeda berada di Jakarta, kebanyakan di wilayah Jakarta Barat. Sepeda-sepeda batangan dengan boncengan di belakang yang dilengkapi dengan jok busa. Pengendaranya ada yang berasal dari Jawa Tengah dan kawasan Tangerang. "Ojek, Pak......Ojek sepeda......", begitu mereka menawarkan jasa kepada warga yang melintas di depannya.
Sebelum ojek motor membanjiri wilayah Jakarta, ojek sepeda cukup lumayan banyak. Hampir di setiap persimpangan lampu lalu-lintas akan kita dapati mereka mangkal dengan posisi satu kake nyantel di atas batangan. Kadangkala ada juga yang mangkal di mulut perumahan, menawarkan jasa angkutan yang bebas polusi ini. "Mangga Dua.......Beos......". Begitu mereka menawarkan penumpang yang melintas di kawasan Pancoran-Glodok.



Tahan Banting
Tidak seluruhnya tukang ojek sepeda berperawakan tinggi dan kekar. Ada juga yang kurus dan pendek. Tapi yang pasti kulit mereka berwarna hitam legam, karena setiap hari terpanggang sinar matahari. Aroma tubuhnya pun bau sinar matahari dan bercampur bau keringat. Tetapi ada saja penumpang yang menggunakan jasa angkutan mereka.
Amin yang berusia 35 tahun, salah satunya. Sebelumnya ia sempat bekerja di perusahaan konveksi di bilangan Sewan, Tangerang (Banten). Setiap harinya mangkal di kawasan Pancoran-Glodok. Pendidikan formalnya tidak tinggi, cuma tamatan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SMP) di kota kelahirannya, Sewan, Tangerang.
"Saya terkena imbas PHK, sudah dua tahunan nganggur. Karena tidak mendapatkan tempat pekerjaan lagi, terpaksa memilih jadi tukang ojek sepeda. Kalau punya motor sih enakan ngojek motor, tidak harus cepe-cepe ngenjot sepeda bolak-balik Jakarta - Tangerang", cerita Amin ketika mengawali profesi sebagai pengojek sepeda. Profesi ini dijalaninya dengan sepenuh hati demi membiayai kehidupan keluarganya dengan seorang anak yang masih duduk dibangku Sekolah Dasar.
Memang kelihatannya Amin harus memaksakan diri dengan kondisi seperti itu. Subuh sudah bangun, kemudian pagi-pagi langsung berangkat ke Jakarta, ngenjot sepeda sejauh 30-an kilometer sekali jalan. Pulangnya yang kadangkala sore bahkan kadang sampai lepas magrib, ngenjot sepeda lagi pulang ke Sewan. Setiap hari menempuh jarak hampir 60 kilometeran Tangerang - Jakarta - Tangerang. Belum lagi kalau harus menarik penumpang, entah yang berjarak pendek atau ke lokasi yang cukup jauh.
"Entah saya harus mengenjot sepeda berpa kilometer setiap hari, di luar ngenjot Tangerang - Jakarta bolak-balik. Tetapi apa boleh buat, beginilah nasib saya". Amin menarik nafas, menyedot dalam-dalam asap rokok yang nyelip di antara kedua bibirnya.
Tidak hanya Amin yang setiap hari mengayuh sepeda sampai ratusan kilo meter, pengojek lainnya pun demikian. Boleh dikatakan para tukang ojek sepeda ini sosok manusia yang tahan banting. Bayangkan, jika musim kemarau setiap hari tubuh mereka terpanggang sinar matahari; kalau musim hujan seperti sekarang ini mereka harus menahan dingin dan kebasahan. Kalau narik penumpang ke arah kawasan yang terkena banjir, maka harus melawan derasnya arus air. Pulang malam selalu dengan badan yang pegal-pegal dan kedinginan.
Apa yang dikerjakan mereka, ternyata tidak seimbang dengan penghasilan yang mereka peroleh. Seperti kata Wawan yang juga berusia 35 tahun. Sehari-harinya pria kelahiran Bogor ini mangkal di sekitar Stasiun Beos, Jakarta Kota bersama beberapa pengojek sepeda lainnya. Meski dia tidak perlu mengayuh sepeda setiap hari dari Bogor - Jakarta - Bogor, tetapi pendapatannya per hari minim. Ia ngontrak di kawasan Jalan Jembatan Lima bersama-sama beberapa orang tukang ojek sepeda lainnya.
"Kalau bicara soal pendapatan, ya jangan ditanya bang....kebanyakan nomboknya dibandingkan bisa menyisihkan untuk ditabung. Apalagi sekarang langganan saya sudah punya motor sendiri, tidak lagi minta diantar dari rumah ke tempat kerjanya. Belum lagi menghadapi banyaknya ojek motor..., ujar Wawan yang cuma mengenyam pendidikan formal sampai kelas II SMP di kota kelahirannya, Bogor.
Anak kedua dari tiga bersaudara keluarga petani ini merantau ke Jakarta sejak tahun 1996, mencoba mencari pekerjaan dengan berbekal ijazah SD. Setahun nganggur, pada tahun 1997 sempat bekerja di salah satu toko di kawasan Kota. Nasib baik tidak berpihak kepadanya, pada kerusuhan Mei 1998 toko tempatnya bekerja habis dilalap si jago merah bersama beberapa toko lainnya yang dibakar massa. Tahun-tahun berikutnya.....nganggur kembali.

Selama nganggur dan belum menjadi pengojek sepeda, Wawan sempat menjadi pemulung barang bekas. Dari hasil memulung itulah, ia mencoba bertahan hidup di ibukota yang cukup ganas ini. Di tempatnya ngontrak, ia berkenalan dengan para pengojek sepeda. Setelah merenung, ia memilih menjadi tukang ojek dan meninggalkan profesi sebagai pemulung barang-barang bekas. Untuk modal awal, ia menyewa sepeda melalui salah seorang pengojek...dan, jadilah Wawan pengojek sepeda sampai sekarang.
"Masih bagus bisa bayar kontrakan tiap bulan dan bisa makan setiap hari. Kalau soal tabungan, ya kalau ada lebihnya sedikit-sedikit nabung. Tapi bukan nabung di bank lho. Jika ada rezeki lumayan, sesekali waktu bisa juga ngirimin buat orang tua di kampung. Ya, beginilah nasib, di mana mencari pekerjaan sekarang susah. Apalagi saya cuma ijazah SD, mau kerja apaan. Terpaksalah semuanya ini saya jalankan sambil menantikan rejeki dari Tuhan.....", ujar Wawan sambil menyeruput kopinya.
Begitulah kenyataan dan kehidupan pengojek sepeda. Jasa angkutan rakyat yang tarifnya merakyat dan bebas polusi ini harus melawan tenaga mesin berbahan bakar. Mereka harus bersaing dalam harga dengan sesama pengojek sepeda, selain ojek motor. Dan sesekali harus menentang bahaya, karena harus melawan arus lalu-lintas ketika membawa penumpang. Juga harus pandai nyelap-nyelip di antara kendaraan yang berseliweran.
Masih adakah penumpang yang memberinya rezeki ? "Ada saja sih....Soalnya mereka kan ingin cepat dan mengejar waktu, karena sepeda bisa selap-selip serta melawan arah", ujar Wawan sambil menandaskan kopi hitamnya pada tetes terakhir.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar