Maraknya gebyar ojek sepeda motor
berbasis aplikasi, kian menambah terpuruknya ojek sepeda khususnya di
wilayah Jakarta Kota. Namun menariknya, moda transportasi ini sempat
menjadi primadona pada masanya. Di balik kegiatannya, terbesit
semangat pejuangan menaklukan kerasnya kehidupan kota Jakarta. Hanya
berbekal kemauan tinggi denga pendidikan yang serba pas-pasan, mereka
memang bukan tempatnya untuk bersaing di kota yang katanya sedang
berubah menjadi smart city.
Entah bagaimana mulanya, tahu-tahu
ojek sepeda berada di Jakarta, kebanyakan di wilayah Jakarta Barat.
Sepeda-sepeda batangan dengan boncengan di belakang yang dilengkapi
dengan jok busa. Pengendaranya ada yang berasal dari Jawa Tengah dan
kawasan Tangerang. "Ojek, Pak......Ojek sepeda......",
begitu mereka menawarkan jasa kepada warga yang melintas di depannya.
Sebelum ojek motor membanjiri wilayah
Jakarta, ojek sepeda cukup lumayan banyak. Hampir di setiap
persimpangan lampu lalu-lintas akan kita dapati mereka mangkal dengan
posisi satu kake nyantel di atas batangan. Kadangkala ada juga yang
mangkal di mulut perumahan, menawarkan jasa angkutan yang bebas
polusi ini. "Mangga Dua.......Beos......". Begitu mereka
menawarkan penumpang yang melintas di kawasan Pancoran-Glodok.
Tahan Banting
Tidak seluruhnya tukang ojek sepeda
berperawakan tinggi dan kekar. Ada juga yang kurus dan pendek. Tapi
yang pasti kulit mereka berwarna hitam legam, karena setiap hari
terpanggang sinar matahari. Aroma tubuhnya pun bau sinar matahari dan
bercampur bau keringat. Tetapi ada saja penumpang yang menggunakan
jasa angkutan mereka.
Amin yang berusia 35 tahun, salah
satunya. Sebelumnya ia sempat bekerja di perusahaan konveksi di
bilangan Sewan, Tangerang (Banten). Setiap harinya mangkal di kawasan
Pancoran-Glodok. Pendidikan formalnya tidak tinggi, cuma tamatan
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SMP) di kota kelahirannya, Sewan,
Tangerang.
"Saya terkena imbas PHK, sudah
dua tahunan nganggur. Karena tidak mendapatkan tempat pekerjaan lagi,
terpaksa memilih jadi tukang ojek sepeda. Kalau punya motor sih
enakan ngojek motor, tidak harus cepe-cepe ngenjot sepeda bolak-balik
Jakarta - Tangerang", cerita Amin ketika mengawali profesi
sebagai pengojek sepeda. Profesi ini dijalaninya dengan sepenuh hati
demi membiayai kehidupan keluarganya dengan seorang anak yang masih
duduk dibangku Sekolah Dasar.
Memang kelihatannya Amin harus
memaksakan diri dengan kondisi seperti itu. Subuh sudah bangun,
kemudian pagi-pagi langsung berangkat ke Jakarta, ngenjot sepeda
sejauh 30-an kilometer sekali jalan. Pulangnya yang kadangkala sore
bahkan kadang sampai lepas magrib, ngenjot sepeda lagi pulang ke
Sewan. Setiap hari menempuh jarak hampir 60 kilometeran Tangerang -
Jakarta - Tangerang. Belum lagi kalau harus menarik penumpang, entah
yang berjarak pendek atau ke lokasi yang cukup jauh.
"Entah saya harus mengenjot
sepeda berpa kilometer setiap hari, di luar ngenjot Tangerang -
Jakarta bolak-balik. Tetapi apa boleh buat, beginilah nasib saya".
Amin menarik nafas, menyedot dalam-dalam asap rokok yang nyelip di
antara kedua bibirnya.
Tidak hanya Amin yang setiap hari
mengayuh sepeda sampai ratusan kilo meter, pengojek lainnya pun
demikian. Boleh dikatakan para tukang ojek sepeda ini sosok manusia
yang tahan banting. Bayangkan, jika musim kemarau setiap hari tubuh
mereka terpanggang sinar matahari; kalau musim hujan seperti sekarang
ini mereka harus menahan dingin dan kebasahan. Kalau narik penumpang
ke arah kawasan yang terkena banjir, maka harus melawan derasnya arus
air. Pulang malam selalu dengan badan yang pegal-pegal dan
kedinginan.
Apa yang dikerjakan mereka, ternyata
tidak seimbang dengan penghasilan yang mereka peroleh. Seperti kata
Wawan yang juga berusia 35 tahun. Sehari-harinya pria kelahiran
Bogor ini mangkal di sekitar Stasiun Beos, Jakarta Kota bersama
beberapa pengojek sepeda lainnya. Meski dia tidak perlu mengayuh
sepeda setiap hari dari Bogor - Jakarta - Bogor, tetapi
pendapatannya per hari minim. Ia ngontrak di kawasan Jalan Jembatan
Lima bersama-sama beberapa orang tukang ojek sepeda lainnya.
"Kalau bicara soal pendapatan, ya
jangan ditanya bang....kebanyakan nomboknya dibandingkan bisa
menyisihkan untuk ditabung. Apalagi sekarang langganan saya sudah
punya motor sendiri, tidak lagi minta diantar dari rumah ke tempat
kerjanya. Belum lagi menghadapi banyaknya ojek motor..., ujar Wawan
yang cuma mengenyam pendidikan formal sampai kelas II SMP di kota
kelahirannya, Bogor.
Anak kedua dari tiga bersaudara
keluarga petani ini merantau ke Jakarta sejak tahun 1996, mencoba
mencari pekerjaan dengan berbekal ijazah SD. Setahun nganggur, pada
tahun 1997 sempat bekerja di salah satu toko di kawasan Kota. Nasib
baik tidak berpihak kepadanya, pada kerusuhan Mei 1998 toko tempatnya
bekerja habis dilalap si jago merah bersama beberapa toko lainnya
yang dibakar massa. Tahun-tahun berikutnya.....nganggur kembali.
Selama nganggur dan belum menjadi
pengojek sepeda, Wawan sempat menjadi pemulung barang bekas. Dari
hasil memulung itulah, ia mencoba bertahan hidup di ibukota yang
cukup ganas ini. Di tempatnya ngontrak, ia berkenalan dengan para
pengojek sepeda. Setelah merenung, ia memilih menjadi tukang ojek dan
meninggalkan profesi sebagai pemulung barang-barang bekas. Untuk
modal awal, ia menyewa sepeda melalui salah seorang pengojek...dan,
jadilah Wawan pengojek sepeda sampai sekarang.
"Masih bagus bisa bayar kontrakan
tiap bulan dan bisa makan setiap hari. Kalau soal tabungan, ya kalau
ada lebihnya sedikit-sedikit nabung. Tapi bukan nabung di bank lho.
Jika ada rezeki lumayan, sesekali waktu bisa juga ngirimin buat orang
tua di kampung. Ya, beginilah nasib, di mana mencari pekerjaan
sekarang susah. Apalagi saya cuma ijazah SD, mau kerja apaan.
Terpaksalah semuanya ini saya jalankan sambil menantikan rejeki dari
Tuhan.....", ujar Wawan sambil menyeruput kopinya.
Begitulah kenyataan dan kehidupan
pengojek sepeda. Jasa angkutan rakyat yang tarifnya merakyat dan
bebas polusi ini harus melawan tenaga mesin berbahan bakar. Mereka
harus bersaing dalam harga dengan sesama pengojek sepeda, selain ojek
motor. Dan sesekali harus menentang bahaya, karena harus melawan arus
lalu-lintas ketika membawa penumpang. Juga harus pandai nyelap-nyelip
di antara kendaraan yang berseliweran.
Masih adakah penumpang yang memberinya
rezeki ? "Ada saja sih....Soalnya mereka kan ingin cepat dan
mengejar waktu, karena sepeda bisa selap-selip serta melawan arah",
ujar Wawan sambil menandaskan kopi hitamnya pada tetes terakhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar