kontak :

Foto saya
Mengamati kebudayaan peninggalan Jakarta tempo dulu untuk pelestarian yang berkesinambungan

Kamis, Oktober 01, 2015

PENGEMIS, SATU LAGI MASALAH JAKARTA

BERMULA DARI COBA-COBA
         Wajahnya nampak lusuh, sama seperti pakaiannya yang nyaris compang-camping. Sandal karetnyapun hanya sekedar saja untuk menahan terik matahari yang membakar kulit telapak kaki hingga sekujur tubuhnya. Dengan sedikit mengiba, ia menjulurkan tangannya ke jendela kaca mobil yang mengantri di lampu merah kawasan Menteng Jakarta Pusat. Suparno (46th) memang tidak sendiri. Di ruas jalan lainnya, beberapa pengemis seperti dirinya setiap hari berharap belas kasihan dari pengendara ataupun pejalan kaki yang melintas di situ.

Selasa, September 29, 2015

MEMINDAHKAN KOTA JAKARTA DARI GENANGAN AIR (??)

          Menyoal banjir di Jakarta tak ubahnya bagaikan mengurai benang kusut. Bermacam cara dilakukan. Mulai dari normalisasi sungai, pembuatan sodetan, wacana pembangunan waduk di hulu, penataan lingkungan pinggir sungai, hingga membangun kesadaran warga 
dari yang persuasif hingga ancaman. Masalah pun timbul tidak kalah ruwetnya. Akumulasi masalah yang terendap meledak saat pemukiman Kampung Pulo di pindah secara paksa. Bentrok dengan petugas tak terelakan hingga menimbul-kan korban luka-luka di pihak warga maupun petugas. Alat berat pun dibakar, beberapa warga dijadikan tersangka kerusuhan.
         Padahal fenomena banjir ini sudah ber-ulang terjadi. Ada yang namanya banjir tahunan, ada pula yang berbentuk siklus lima tahunan. Artinya, warga sudah faham bahwa Jakarta ini sesungguhnya adalah kota air.Tiga belas sungai yang mengiris-iris tanah Jakarta, sudah cukup memberi sinyal kalau kota ini tidak mungkin dapat terbebas dari genangan air. Jangan heran sejak dulu pemerintah kolonial Belanda membangun kanal dan pintu air di sisi-sisi kota. Padahal pada masa itu, kepadatan penduduk baru dalam hitungan ratusan ribu saja, bahkan mungkin kurang. Bandingkan dengan kondisi sekarang yang telah menci apai angka lebih dari 9 juta jiwa.

Jumat, September 25, 2015

OJEK SEPEDA DI ANTARA OJEK BERBASIS APLIKASI

Maraknya gebyar ojek sepeda motor berbasis aplikasi, kian menambah terpuruknya ojek sepeda khususnya di wilayah Jakarta Kota. Namun menariknya, moda transportasi ini sempat menjadi primadona pada masanya. Di balik kegiatannya, terbesit semangat pejuangan menaklukan kerasnya kehidupan kota Jakarta. Hanya berbekal kemauan tinggi denga pendidikan yang serba pas-pasan, mereka memang bukan tempatnya untuk bersaing di kota yang katanya sedang berubah menjadi smart city.

Entah bagaimana mulanya, tahu-tahu ojek sepeda berada di Jakarta, kebanyakan di wilayah Jakarta Barat. Sepeda-sepeda batangan dengan boncengan di belakang yang dilengkapi dengan jok busa. Pengendaranya ada yang berasal dari Jawa Tengah dan kawasan Tangerang. "Ojek, Pak......Ojek sepeda......", begitu mereka menawarkan jasa kepada warga yang melintas di depannya.
Sebelum ojek motor membanjiri wilayah Jakarta, ojek sepeda cukup lumayan banyak. Hampir di setiap persimpangan lampu lalu-lintas akan kita dapati mereka mangkal dengan posisi satu kake nyantel di atas batangan. Kadangkala ada juga yang mangkal di mulut perumahan, menawarkan jasa angkutan yang bebas polusi ini. "Mangga Dua.......Beos......". Begitu mereka menawarkan penumpang yang melintas di kawasan Pancoran-Glodok.

Senin, September 21, 2015

DARI RAWA MENJADI KAWASAN ELITE



TEKNOLOGI penerbangan masuk ke Indonesia setelah Perang Dunia Pertama berakhir. Belanda membangun landasan pesawat terbang Cililitan. Di tanah yang masih berupa lapangan rumput dan areal persawahan serta rawa, pada tahun 1934 berdiri Bandara Kemayoran untuk kepentiungan militer. Ketika Jepang menduduki Indonesia tahun 1942, bandara ini diaspal, dan banyak kemajuan. Sesudah JEpang menyerah, Belanda melakukan perbaikan.
Sesudah penyerahan kedaulatan pada tahun 1949, Bandara Kemayoran di bawah pemerintah Republik Indonesia untuk penerbangan sipil dan militer. Menjelang Orde Baru, Bandara Halim Perdanakusuma menangani penerbangan militer. Penerbangan komersial dipindahkan ke Cengkareng dari Kemayoran pada tahun 1985. Setelah itu, bekas Bandara Kemayoran kemudian ditangani oleh Badan Pengelola Kawasan Kemayoran (BPKK) dan Sekretariat Negara (Sekneg).

Sabtu, Agustus 01, 2015

STADION MENTENG RIWAYATMU DULU


Di tengah gonjang-ganjingnya persepakbolaan tanah air, mengenang sebuah tempat di kawasan Menteng, seperti menggali rasa bangga, prihatin, pilu, bercampur menjadi satu. Di situ pernah ada stadion kebanggaan milik Persija Jakarta yang kini berubah rupa menjadi taman kota.
Wajah baru bekas stadion Menteng
      Sederet nama besar pesepakbola nasional lahir dari stadion yang bersejarah itu.  Orang-orang tua tempo dulu mengenal dan menyebutnya dengan sebutan “lapangan vios”.  Tempat itu memang dibangun oleh klub sepakbola Belanda yang bernama Voetbalbond Indische Omstreken Sport atau disingkat VIOS, pada tahun 1920. Kegilaan pada olahraga sepak menyepak si kulit bundar ini juga terlihat dari klub Nederlandsch Indiche Voetbal Bond (NIVB) yang  mereka dirikan. Dan sejarah mencatat kontingen Hindia Belanda mampu berlaga di kejuaraan sepakbola dunia pada tahun 1938 di Perancis.

LAHAN MENYEMPIT KUBURAN PUN SULIT



Hidup tak mudah, mati pun susah. Buat warga Jakarta, kalimat ini bukan sekedar ungkapan. Memperoleh "rumah masa depan" type 21 atau 2x1 ternyata tidak segampang membaca aturan yang terpampang di kelurahan atau di kantor-kantor pemakaman umum. Untuk mendapat lahan makam agaknya peran penggali kubur sangat turut menentukan. Petugas pemakaman umum yang seharusnya sebagai pelayan masyarakat seakan membiarkan dan memaklumi hal ini.
            Anggota keluarga yang akan memakamkan, akan melakukan negosiasi dengan para penggali kubur lewat panduan petugas setingkat pengawas atau mandor. Kira-kira begitulah. Tinggal pilih maunya tempat di sebelah mana. Masing-masing zona sudah ada tukang galinya masing-masing. "Terserah maunya di mana, yang letaknya strategis pasti harganya juga tinggi" kata mantan penggali kubur yang tak mau disebut namanya.

Rabu, Desember 04, 2013

ERP : BAYAR DULU, BARU LEWAT



Bayar dulu, baru lewat

Upaya mengatasi kepadatan lalulintas Jakarta tidak pernah mengenal kata habis.
Lepas program 3in1 – berkendara 1 mobil 3 penumpang, menyusul busway, monorel, subway, bus air, kini ada lagi yang namanya ERP, singkatan dari electronic road pricing.
Gampangnya, jika melewati jalan-jalan rawan padat seperti Jalan Thamrin, Sudirman, Gatot Subroto atau Rasuna Said Kuningan misalnya, siap-siap sediakan dana kutipan untuk dapat lewat situ. “Kutipan bukan tujuan, tapi lebih pada pengendalian pengaturan lalulintas, dan besarnya pun bisa disesuaikan dengan jam-jam kepadatan” kata seorang ahli transportasi asal Swedia.